Pengalaman Menjaga Anak Sakit Demam Berdarah (DBD)

Demam Berdarah


Musim hujan belum selesai di daerah saya. Yang saya tau di banyak daerah lainnya di Indonesia sedang hujan deras, artinya musim nyamuk berkembang biak. 

Musuh utama orang yang tinggal di daerah tropis salah satunya adalah nyamuk Aedes Aegepti. Nyamuk pembawa virus penyakit demam berdarah dengue (DBD) ini pernah menjangkiti anak saya. Buat para ibu dan Sahabat Blog Sunglow Mama semua, saya ingin mengajak untuk waspada terhadap penyakit tropis mematikan yang sering terabaikan ini. 

Sebagai ibu, saya harus waspada terhadap Demam Berdarah Dengue. Sepertinya setiap musim penghujan datang, ketika nyamuk banyak berkembang biak, pasti ada saja berita tentang tetangga atau saudara yang sakit DBD.

Melalui artikel ini saya juga ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan sehingga Sahabat bisa terbebas dari rasa was-was tentang DBD, terutama yang menjangkiti anak-anak.  (DBD) merupakan suatu penyakit epidemi akut yang disebabkan oleh virus yang disebarkan oleh nyamuk transmisikan oleh Aedes aegypti dan Aedes albopictus.

Apakah DBD itu?

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit demam akut akibat gigitan nyamuk Aedes yang mebawa virus dengue, misalnya Aedes aegypti atau Ades albopictus. Virus ini masuk ke dalam dalam peredaran darah manusia.  

WHO menyebutkan penyakit demam akut ini bisa menyerang orang dewasa maupun anak-anak, terutama yang usianya di bawah 15 tahun. Gejala DBD antara lain demam ringan sampai tinggi, yang biasanya disertai dengan sakit kepala, nyeri pada otot, sendi, dan terkadang  mata. Kasus yang parah bisa disertai dengan pendarahan.

Data WHO mencatat setidaknya terdapat 50-100 juta kasus infeksi setiap tahunnya di seluruh dunia.Di negara kita sendiri tercatat setidaknya 816 kematian sepanjang 2022

Sebelum bocil terpapar DBD

Demam berdarah dengue (DBD) saat itu mulai mewabah di daerah saya tinggal. Tepat saat bocil dirawat inap, ada 2 pasien anak yang kena penyakit yang sama. DBD nampaknya tak pernah absen dari daerah tropis macam Indonesia. Tinggal bagaimana orang tua waspada, sehingga kejadian yang menimpa keluarga saya tidak terjadi di keluarga Sahabat.

Anak saya, sebut saja si bocil, usianya baru 2 tahun. Di awal bulan Juni tahun lalu dia sudah menyambangi puskesmas, karena ada flu dan batuk. Hidungnya meler, batuknya mulai menjadi. Penyebabnya, saya duga karena virus yang bergerak lincah di seputar keluarga. Bapaknya pertama kali kena flu. Ketika si bapak mulai mereda bersin dan meriangnya, Eyang putrinya juga mengalami hal yang sama. Lalu ponakan yang sering dititipkan ibunya di rumah Eyang (saya tinggal Bersama mertua), juga terkena flu.

Setelah habis 3 hari jatah obat dari puskesmas, pun bocil masih flu dan super meler. Batuknya sudah menghilang. Selain soal nafsu makan (dia susah makan), kelincahan, dan keusilannya tetap aktif seperti biasa. Puncaknya kakak si ponakan yang sudah SMA panas tinggi dan besoknya, di hari Jumat, bocil mulai demam.

Saya merasakan badan bocil lebih hangat. Saya putuskan memberi obat flu yang sudah mengandung paracetamol, sisa dari berobat di puskesmas. Jumat siang panas tidak mereda, tapi juga tidak terlalu tinggi, saat itu saya belum menggunakan thermometer untuk mengukur suhu tubuh pasti bocil. Sampai menjelang maghrib, sekitar pukul 16.40 bocil panas tinggi. Mertua saya dengan sigap mengompres dahi bocil. Ini pertolongan pertama kami selain paracetamol, untuk menghindari resiko bocil kejang.

Kami awalnya berencana mengunjungi dokter spesialis anak keesokan harinya, di hari Sabtu. Karena khawatir, terlebih setelah diukur dengan thermometer, suhu badan bocil mencapai 39,8 C, kami langsung membawanya ke dokter umum terdekat.

Alhamdulillah dokter umum, yang sebenarnya masih tetangga karena berjarak kurang dari 300 m, ini orangnya sabar, sopan, dan telaten. Dengan keluhan panas disertai hidung meler, saya diberi dua macam obat. Yang satu antibiotik dan yang lainnya obat batuk flu panas. Keduanya dalam bentuk sirup.

Bocil sempat mereda panasnya di malam hari setelah minum kedua obat. Tapi kemudian suhu tubuhnya tetap panas tinggi di kisaran 38 C pada hari Sabtu. Oh ya, selama tidur, di Jumat malam, saya terus mengompres dan mengelap kepalanya. Baju bocil saya ganti dengan kaos dan celana pendek, tanpa kaos singlet seperti biasanya.

Di hari Sabtu dia masih ceria, bermain, makan dan minum seperti biasa. Suhu badannya dingin sebentar, dan kemudian naik lagi. Sabtu malam saya bawa lagi ke dokter umum sebelumnya. Kali ini bocil diberi tambahan obat puyer, entah apa. Dokter berpesan, jika sampai Minggu siang panasnya masih ada, berarti bocil butuh pemeriksaan laboratorium.

Setelah minum obat dari dokter, malamnya panas turun. Sampai minggu pagi tubuh bocil bahkan cenderung lebih dingin dari normal. Jari kaki dan tangannya lebih dingin (anyep dalam Bahasa daerah saya). Bocil mulai malas makan dan tantrum, rewel dan manjanya luar biasa. Saya menanggapinya dengan santai, mungkin dalam masa penyembuhan, jadi mulai manja.

Ternyata saya salah, temperature siang hari naik ke 38,2 C setelah sebelumnya berada di 37 C. Makin sore saya makin gelisah. Tengkuk bocil panas sekali ketika tersentuh tangan. Suhu tubuh di malam hari naik lagi ke 38,5 C sampai kemudian di dini hari mencapai 39,6 C. Jam 10 malam kurang saya membuat janji untuk bertemu dokter spesialis anak di RS. Prima Husada, Singosari, Malang di hari Senin.

Bocil Masuk Rumah Sakit

Di hari Senin, kami bertemu pak dokter. Setelah menceritakan gejala dan Riwayat sakit bocil, menunjukkan obat-obatan yang diminum, pak dkter berkata, “Panas yang normal akan turun setelah munum obat. Kalo masih naik lagi, alias naik turun, apalagi hari ini adalah hari ke-4 demam anak, dikhawatirkan demam berdarah,”. Kemudian bocil dites darah. Hasilnya positif DBD. Trombosit kurang, HB rendah, dan sel darah merah juga rendah. Rawat inap adalah pilihannya, tentu saya terima dan saya ikuti semua arahan dokter.

Gelisah di IGD

Dari poli anak, kami dibawa ke IGD. Kami langsung bisa menggunakan BPJS tanpa meminta rujukan dari faskes pertama. DI IGD bocil diarahkan untuk foto rontgen dada, sebelum diinfus. Ini adalah upaya preventif mengingat ada batuk yang diderita bocil, agar benar-benar bebas COVID-19. Bocil makin ketakutan, rewel, dan inilah hal terberat bagi saya. Membuat bocil senyaman mungkin, tetap bersemangat dan mengikuti semua arahan dokter dan tenaga kesehatan.

Acara pemasangan infus adalah hal yang paling berat yang harus saya saksikan di saat bocil sudah lemas, capek menangis, ketakutan, pucat dan semua hal yang serba tidak enak yang tidak bisa diucapkannya. Baru selesai infus dipasang, masih ada perawat datang mendekat langsung mengambil sampel cairan dari cupang hidung anak saya untuk keperluan tes rapid antigem. Makin histeris lah bocil.

Setelah infus terpasang dia tidak mau rebahan, gendong terus, apa boleh buat, demi kenyamanannya sebelum dia tertidur saya gendong terus. Hampir 30 menit non-stop saya gendong bocil sampai akhirnya dia tertidur pulas dan bisa dipindah ke atas Kasur.

Fix, bocil trauma melihat perawat dan segala aktivitas hiruk-pikuk di IGD.

Saya menunggu sampai sekitar jam 11.30 siang sebelum masuk kamar perawatan. Kamarnya di lantai 2, dengan jalanan mendaki dan pemandangan dinding di kiri-kanan tanpa peopohonan, pemandangan dari jendela dan lain sebagainya, saya sampai di ruang perawatan. Suara tangisan mulai bersahutan dari kamar satu dan lainnya. Bocil juga tidak bisa tenang, super tantrum dan itu hal yang wajar. Ia harus disuntik tiap pagi untuk ambil darah, tidur di tempat asing, suasana yang tidak menyenangkan, jauh dari mainan dan lain sebagainya.

Perawatan Anak

Perawatan di RS yang didapat bocil tentunya mencukupi cairan agar tidak dehidrasi. Pasang infus, vitamin juga masuk dari selang infus. Obat-obatan diberikan 3x sehari lewat infus. Seingat saya ada 2 jenis obat, salah satunya adalah analgesik yang berfungsi sebagai antinyeri.

Di hari kedua, anak saya terkena diare, ada obat puyer racikan yang diberikan. Selebihnya alhamdulillah bocil stabil, tidak demam sama sekali sejak masuk rawat inap, dan lemah (hal yang wajar, karena pengaruh obat atau dia memang bosan). DI hari ketiga, bocil  mulai lahap minta makan. Walau tidak menyentuh menu rumah sakit kecuali ayam goreng, padahal dulu dia tidak suka.

Di hari ketiga, wajah bocil makian bengkak, begitu juga badannya, ini karena cairan yang masuk ke tubuh lewat infus sudah cukup (bahkan mungkin sudah lebih), jadi obat-obatan dan vitamin tidak lagi dimasukkan lewat selang infus. Infus dilepas dan tinggal hasil tes darah yang dinanti. Di hari ketiga, bocil makin terlihat bersemangat walau masih lemah.

Alhamdulillah hari Kamis, hari ke-4 di rumah sakit menjadi hari terakhir bocil dirawat. Hasil tes darah menunjukkan trombosit yang meningkat. Sekitar jam 9 pagi bocil bisa pulang.

Kesimpulan

Sahabat, penting sekali untuk mengikuti arahan dari orang yang ahli di bidangnya. Selama masa perawatan, saya hanya mengikuti arahan dari dokter dan tim perawat. Menjaga anak, membuatnya tenang, dan ya itu saja sih.

Bukankah memang tugas orang tua seperti itu? Wajibnya begitu, tapi nyatanya banyak keluarga pasien yang meminta pulang paksa. Dari pengamatan saya sih, orang tuanya yang ngga betah nungguin di rumah sakit. Anak tentu saja akan lebih rewel disbanding jika ia di rumah. Tapi, apakah perawatan di rumah akan menjamin bocil makin sehat?

Kalo di rumah sakit, anak akan banyak istirahat. Waktu makan juga lebih teratur karena makanan terhidang langsung. Obat-obatan dan pengawasan medis maksimal, mau tidak mau ya harus mau. Sementara jika di rumah pasti banyak gangguan. Mulai ajakan bermain, dikunjungi saudara, manja karena ia tahu rumah adalah “wilayah kekuasaannya” dan banyak hal lain yang membuat bocil akhirnya tidak beristirahat.

Dokter juga tidak akan serta-merta menyuruh pasien rawat inap, apalagi di masa pandemi yang masih ketat seperti tahun lalu. Pasti ada alasan khusus berdasarkan kondisi pasien yang ditegakkan diagnosisnya lewat cek ini itu. Sekali lagi mental orang tua harus kuat. Tidak boleh mengeluh juga, lebih sakit yang dirawat daripada yang nungguin kan? Jangan hanya karena capek dan bosan nungguin perawatan yang itu-itu saja (menurut orang awam – tidak ada bukti ilmiah sama sekali)akhirnya perawatan anak tidak maksimal.

Pengalaman berkumpul dengan orang tua rempong, fasilitas kamar kelas 3, fasilitas pasien BPJS dan aneka cerita seru lain akan saya ceritakan di sesi lain ya. Untuk saat ini cerita tentang memori menjaga anak sakit karena DBD selesai. Sahabat bisa mulai belajar juga cara blogging yang asyik agar pengalaman pribadi yang berkaitan dengan perawatan si kecil saat sakit bisa dibaca banyak orang. 

Semoga Sahabat selalu bisa menjaga diri dan keluarga dari aneka penyakit dan Allah membantu usaha kita semua menjadi sehat. Aamiin.

 

 

 

Post a Comment

0 Comments

advertise