Sebelum bocil terpapar DBD
Demam berdarah (DBD) mulai mewabah di
daerah saya tinggal. Tepat saat bocil dirawat inap, ada 2 pasien anak yang kena
penyakit yang sama. DBD nampaknya tak pernah absen dari daerah tropis macam
Indonesia. Tinggal bagaimana orang tua waspada, sehingga kejadian yang menimpa
keluarga saya tidak terjadi di keluarga Sahabat.
Anak saya, sebut saja si bocil, usianya
baru 2 tahun. Di awal bulan Juni ini dia sudah menyambangi puskesmas, karena
ada flu dan batuk. Hidungnya meler, batuknya mulai menjadi. Penyebabnya, saya
duga karena virus yang bergerak lincah di seputar keluarga. Bapaknya pertama
kali kena flu. Ketika si bapak mulai mereda bersin dan meriangnya, Eyang
putrinya juga mengalami hal yang sama. Lalu ponakan yang sering dititipkan
ibunya di rumah Eyang (saya tinggal Bersama mertua), juga terkena flu.
Setelah habis 3 hari jatah obat dari
puskesmas, pun bocil masih flu dan super meler. Batuknya sudah menghilang.
Selain soal nafsu makan (dia susah makan), kelincahan, dan keusilannya tetap
aktif seperti biasa. Puncaknya kakak si ponakan yang sudah SMA panas tinggi dan
besoknya, di hari Jumat, bocil mulai demam.
Saya merasakan badan bocil lebih hangat.
Saya putuskan memberi obat flu yang sudah mengandung paracetamol, sisa dari
berobat di puskesmas. Jumat siang panas tidak mereda, tapi juga tidak terlalu
tinggi, saat itu saya belum menggunakan thermometer untuk mengukur suhu tubuh
pasti bocil. Sampai menjelang maghrib, sekitar pukul 16.40 bocil panas tinggi.
Mertua saya dengan sigap mengompres dahi bocil. Ini pertolongan pertama kami
selain paracetamol, untuk menghindari resiko bocil kejang.
Kami awalnya berencana mengunjungi dokter
spesialis anak keesokan harinya, di hari Sabtu. Karena khawatir, terlebih
setelah diukur dengan thermometer, suhu badan bocil mencapai 39,8 C, kami
langsung membawanya ke dokter umum terdekat.
Alhamdulillah dokter umum, yang sebenarnya
masih tetangga karena berjarak kurang dari 300 m, ini orangnya sabar, sopan,
dan telaten. Dengan keluhan panas disertai hidung meler, saya diberi dua macam
obat. Yang satu antibiotik dan yang lainnya obat batuk flu panas. Keduanya
dalam bentuk sirup.
Bocil sempat mereda panasnya di malam hari
setelah minum kedua obat. Tapi kemudian suhu tubuhnya tetap panas tinggi di
kisaran 38 C pada hari Sabtu. Oh ya, selama tidur, di Jumat malam, saya terus
mengompres dan mengelap kepalanya. Baju bocil saya ganti dengan kaos dan celana
pendek, tanpa kaos singlet seperti biasanya.
Di hari Sabtu dia masih ceria, bermain,
makan dan minum seperti biasa. Suhu badannya dingin sebentar, dan kemudian naik
lagi. Sabtu malam saya bawa lagi ke dokter umum sebelumnya. Kali ini bocil
diberi tambahan obat puyer, entah apa. Dokter berpesan, jika sampai Minggu
siang panasnya masih ada, berarti bocil butuh pemeriksaan laboratorium.
Setelah minum obat dari dokter, malamnya
panas turun. Sampai minggu pagi tubuh bocil bahkan cenderung lebih dingin dari
normal. Jari kaki dan tangannya lebih dingin (anyep dalam Bahasa daerah saya).
Bocil mulai malas makan dan tantrum, rewel dan manjanya luar biasa. Saya
menanggapinya dengan santai, mungkin dalam masa penyembuhan, jadi mulai manja.
Ternyata saya salah, temperature siang hari
naik ke 38,2 C setelah sebelumnya berada di 37 C. Makin sore saya makin
gelisah. Tengkuk bocil panas sekali ketika tersentuh tangan. Suhu tubuh di
malam hari naik lagi ke 38,5 C sampai kemudian di dini hari mencapai 39,6 C.
Jam 10 malam kurang saya membuat janji untuk bertemu dokter spesialis anak di
RS. Prima Husada, Singosari, Malang di hari Senin.
Bocil Masuk Rumah Sakit
Di hari Senin, kami bertemu pak dokter.
Setelah menceritakan gejala dan Riwayat sakit bocil, menunjukkan obat-obatan
yang diminum, pak dkter berkata, “Panas yang normal akan turun setelah munum
obat. Kalo masih naik lagi, alias naik turun, apalagi hari ini adalah hari ke-4
demam anak, dikhawatirkan demam berdarah,”. Kemudian bocil dites darah.
Hasilnya positif DBD. Trombosit kurang, HB rendah, dan sel darah merah juga
rendah. Rawat inap adalah pilihannya, tentu saya terima dan saya ikuti semua
arahan dokter.
Gelisah di IGD
Dari poli anak, kami dibawa ke IGD. Kami
langsung bisa menggunakan BPJS tanpa meminta rujukan dari faskes pertama. DI
IGD bocil diarahkan untuk foto rontgen dada, sebelum diinfus. Ini adalah upaya
preventif mengingat ada batuk yang diderita bocil, agar benar-benar bebas
COVID-19. Bocil makin ketakutan, rewel, dan inilah hal terberat bagi saya.
Membuat bocil senyaman mungkin, tetap bersemangat dan mengikuti semua arahan
dokter dan tenaga kesehatan.
Acara pemasangan infus adalah hal yang
paling berat yang harus saya saksikan di saat bocil sudah lemas, capek
menangis, ketakutan, pucat dan semua hal yang serba tidak enak yang tidak bisa
diucapkannya. Baru selesai infus dipasang, masih ada perawat datang mendekat
langsung mengambil sampel cairan dari cupang hidung anak saya untuk keperluan
tes rapid antigem. Makin histeris lah bocil.
Setelah infus terpasang dia tidak mau
rebahan, gendong terus, apa boleh buat, demi kenyamanannya sebelum dia tertidur
saya gendong terus. Hampir 30 menit non-stop saya gendong bocil sampai akhirnya
dia tertidur pulas dan bisa dipindah ke atas Kasur.
Fix, bocil trauma melihat perawat dan
segala aktivitas hiruk-pikuk di IGD.
Saya menunggu sampai sekitar jam 11.30
siang sebelum masuk kamar perawatan. Kamarnya di lantai 2, dengan jalanan
mendaki dan pemandangan dinding di kiri-kanan tanpa peopohonan, pemandangan
dari jendela dan lain sebagainya, saya sampai di ruang perawatan. Suara
tangisan mulai bersahutan dari kamar satu dan lainnya. Bocil juga tidak bisa
tenang, super tantrum dan itu hal yang wajar. Ia harus disuntik tiap pagi untuk
ambil darah, tidur di tempat asing, suasana yang tidak menyenangkan, jauh dari
mainan dan lain sebagainya.
Perawatan Bocil
Perawatan di RS yang didapat bocil tentunya
mencukupi cairan agar tidak dehidrasi. Pasang infus, vitamin juga masuk dari
selang infus. Obat-obatan diberikan 3x sehari lewat infus. Seingat saya ada 2
jenis obat, salah satunya adalah analgesik yang berfungsi sebagai antinyeri.
Di hari kedua bocil terkena diare, ada obat
puyer racikan yang diberikan. Selebihnya alhamdulillah bocil stabil, tidak demam
sama sekali sejak masuk rawat inap, dan lemah (hal yang wajar, karena pengaruh
obat atau dia memang bosan). DI hari ketiga, bocil mulai lahap minta makan. Walau tidak menyentuh
menu rumah sakit kecuali ayam goreng, padahal dulu dia tidak suka.
Di hari ketiga, wajah bocil makian bengkak,
begitu juga badannya, ini karena cairan yang masuk ke tubuh lewat infus sudah
cukup (bahkan mungkin sudah lebih), jadi obat-obatan dan vitamin tidak lagi
dimasukkan lewat selang infus. Infus dilepas dan tinggal hasil tes darah yang
dinanti. Di hari ketiga, bocil makin terlihat bersemangat walau masih lemah.
Alhamdulillah hari Kamis, hari ke-4 di
rumah sakit menjadi hari terakhir bocil dirawat. Hasil tes darah menunjukkan
trombosit yang meningkat. Sekitar jam 9 pagi bocil bisa pulang.
Reminder
Sahabat, penting sekali untuk mengikuti
arahan dari orang yang ahli di bidangnya. Selama masa perawatan, saya hanya
mengikuti arahan dari dokter dan tim perawat. Menjaga bocil, membuatnya tenang,
dan ya itu saja sih.
Bukankah memang tugas orang tua seperti itu?
Wajibnya begitu, tapi nyatanya banyak keluarga pasien yang meminta pulang
paksa. Dari pengamatan saya sih, orang tuanya yang ngga betah nungguin di rumah
sakit. Bocil tentu saja akan lebih rewel disbanding jika ia di rumah. Tapi, apakah
perawatan di rumah akan menjamin bocil makin sehat?
Kalo di rumah sakit, bocil akan banyak
istirahat. Waktu makan juga lebih teratur karena makanan terhidang langsung. Obat-obatan
dan pengawasan medis maksimal, mau tidak mau ya harus mau. Sementara jika di
rumah pasti banyak gangguan. Mulai ajakan bermain, dikunjungi saudara, manja karena
ia tahu rumah adalah “wilayah kekuasaannya” dan banyak hal lain yang membuat
bocil akhirnya tidak beristirahat.
Dokter juga tidak akan serta-merta menyuruh
pasien rawat inap, apalagi di masa pandemi seperti ini. Pasti ada alasan khusus
berdasarkan kondisi pasien yang ditegakkan diagnosisnya lewat cek ini itu. Sekali
lagi mental orang tua harus kuat. Tidak boleh mengeluh juga, lebih sakit yang
dirawat daripada yang nungguin kan? Jangan hanya karena capek dan bosan nungguin
perawatan yang ity-itu saja (menurut orang awam – tidak ada bukti ilmiah sama
sekali)akhirnya perawatan bocil tidak maksimal.
Pengalaman berkumpul dengan orang tua
rempong, fasilitas kamar kelas 3, fasilitas pasien BPJS dan aneka cerita seru
lain akan saya ceritakan di sesi lain ya.
Semoga Sahabat selalu bisa menjaga diri dan
keluarga dari aneka penyakit dan Allah membantu usaha kita semua menjadi sehat.
Aamiin.
0 Comments